Tidak Main-Main Ternyata!! Memanggil Pasangan dengan AYAH BUNDA Termasuk TALAK! Berikut jawaban menurut Islam

Tidak Main-Main Ternyata!! Memanggil Pasangan dengan AYAH BUNDA Termasuk TALAK! Berikut jawaban menurut Islam

wildcountryfinearts.com -


Pasangan suami istri di Indonesia yang sudah dikaruniai anak biasanya tidak lagi memanggil pasangannya dengan nama masing-masing. Suami bakal memanggil istrinya dengan mamah, ibu, umi, atau bunda.

Begitu juga sebaliknya, istri akan memanggil suaminya denganpapah, ayah, abi, atau ayah. Maksudnya tak lain untuk mendidik anak sejak awal agar memanggil orangtuanya dengan panggilan sopan seperti diatas, bukan memanggil orang-tua dengan namanya saja.

Apabila terjadi demikian, pasti anak yang memanggil orangtuanya dengan nama begitu tak sopan, tidak sesuai dengan konteks budaya Indonesia. Tidakkah panggilan suami pada istri dengan panggilan mamah, ibu, umi, bunda itu sama juga dengan talak zhihar? Pasti jawabannya yaitu tak. Saya bakal mengetengahkan tiga penjelasan untuk menjawab pertanyaan itu.

Pertama, kasus zhihar terjadi mulai sejak saat Jahiliyah. Orang Jahiliyah saat geram pada istrinya selalu mengatakan anti ‘alayya ka zhari ummi, bagiku, dirimu itu sama dengan punggung ibuku. Pada saat itu, pengucapan ini ditujukan untuk memposisikan istri sama dengan ibu kandung. Berarti, saat seorang lelaki menyampaikan perkataan diatas tak akan bisa menggauli istrinya untuk selamanya.

Hal tersebut seperti seorang anak dilarang menggauli ibu kandungnya sendiri. Diluar itu, suami juga tak akan bertanggung jawab menafkahi istri serta anak-anaknya. Kebiasaan jelek yang merugikan wanita ini dapat terjadi pada saat Nabi yang lalu mengakibatkan turunya surah al-Mujadalah ayat pertama.

Waktu itu istri teman dekat Aus bin Shamit, Khaulah, mengadu pada Rasul atas perbuatan suaminya yang semena-mena men-zhihar-nya, sesaat Khaulah mempunyai anak banyak, serta dia juga masihlah cinta pada suaminya. Apabila kebiasaan zhihar yang berlaku pada saat Jahiliyah masihlah berlaku pada saat Islam pasti hal itu merugikan banyak sekali wanita. Konon, Aus bin Shamit geram hingga men-zhihar istrinya dikarenakan tidak ingin di ajak terkait tubuh. Walau sebenarnya saat itu Khaulah baru usai dari salat.

Kedua, kata zhihar masih satu akar kata dengan kata zhar (punggung). Pada saat itu, punggung wanita adalah lambang bakal keindahan badan wanita yang bikin libido lelaki mencapai puncak. Seperti dijelaskan diatas, kalau maksud penyamaan diri istri dengan punggung ibu itu sama juga dengan mengharamkan dianya untuk terkait tubuh dengan istrinya itu, lantaran ibu pada saat Jahiliyah juga tak bisa dinikah terlebih terkait tubuh dengannya. Apakah konteks ini berlaku di Indonesia? Saya sangka tak ada.

Ketiga, kebiasaan zhihar pada saat Jahiliyah seperti yang dijelaskan diatas telah tergerus dengan sendirinya sejak surah al-Mujadalah itu turun untuk merespon sharing Khaulah pada Nabi waktu suaminya men-zhihar dianya. Mulai sejak waktu itu, suami yang lakukan zhihar pada istrinya cuma diharuskan membayar kafarat. Tetapi men-zhihar istri itu termasuk juga dosa besar. Disamping itu, pembayaran kafarat bisa dikerjakan sesuai sama kekuatan suami, dapat membebaskan budak mukmin wanita, puasa dua bln. berturut-turut, berikan makan pada enam puluh fakir miskin.

Saya sangka kebiasaan talak zhihar ini tak berlaku di Indonesia, lantaran tak di kenal dalam kebudayaan Indonesia. Bahkan juga Ibnu Asyur mengatakan kalau kebiasaan zhihar itu cuma di kenal oleh orang-orang Madinah (Yatsrib) saja, tak di kenal di Mekah.